Rabu, 23 September 2015

Asal Usul Semar dan Cerita Punokawan

Kelahiran Sang Hyang Tunggal

Sang Hyang Wenang
Setahun kemudian, Sang Hyang Wenang membangun kahyangan baru yang melayang layang di atas Gunung Tunggal, yang masih di dalam wilayah Pulau Dewa. Bersamaan dengan itu, Dewi Sahoti melahirkan putra pertama yang berwujud Akyan, dengan diliputi cahaya merah, kuning, hitam, dan putih. Sang Hyang Wenang memandikan putranya itu dengan Tirtamarta Kamandanu sehingga keempat cahaya pun bersatu ke dalam diri si bayi yang langsung berubah dewasa.

Sang Hyang Wenang kemudian memberi nama putra pertamanya itu Sang Hyang Tunggal, sesuai nama Khayangan Gunung Tunggal yang ditempatinya.

(Dari sini sejarah pewayangan mulai banyak terpecah (tergantung serat wayang yang dipakai).

“ Semar, Togog dan Bathara Guru ”

Sang Hyang Tunggal
Dalam menjelaskan tentang peristiwa di wayang sebaiknya dijelaskan juga berdasarkan serat yang mana. Karena dalam pewayangan ada beberapa serat yang dijadikan acuan misalnya SERAT KANDA, SERAT PARAMAYOGA, SERAT PURWAKANDA, SERAT PURWACARITA dll... itu yang menyebabkan bila ada yang menceritakan peristiwa di wayang bisa berbeda-beda versinya.

Dalam Serat Paramayoga Sang Hyang Tunggal adalah putra dari Sang Hyang Wenang. 

Tapi dalam serat Kanda, bapak dari Sang Hyang Tunggal adalah Sang Hyang Nurrasa. Di serat Kanda ini Sang Hyang Nurrasa memiliki dua orang putra bernama Sang Hyang Tunggal dan Sang Hyang Wenang.

Sebagai contoh : sejarah asal mula Semar dan Togog ada banyak versi :

Sang Hyang Nurrasa
Dalam SERAT KANDA : dikisahkan, penguasa kahyangan bernama Sang Hyang Nurrasa memiliki dua orang putra bernama Sang Hyang Tunggal dan Sang Hyang Wenang. Karena Sang Hyang Tunggal berwajah jelek, maka takhta kahyangan pun diwariskan kepada Sang Hyang Wenang. Dari Sang Hyang Wenang kemudian mewariskan kepada putranya yang bernama Sang Hyang Manikmaya atau Batara Guru. Sedangkan Sang Hyang Tunggal kemudian menjadi pengasuh para kesatria keturunan Batara Guru, di marcapada yang dikenal dengan sebutan Semar Badranaya.

Dalam SERAT PARAMAYOGA : dikisahkan, Sang Hyang Tunggal adalah anak dari Sang Hyang Wenang. Sang Hyang Tunggal kemudian menikah dengan Dewi Rakti, seorang putri Raja Jin Kepiting bernama Sang Hyang Yuyut. Dari perkawinan itu lahir sebutir mustika berwujud telur yang kemudian berubah menjadi dua orang pria. Keduanya masing-masing diberi nama Ismaya untuk yang berkulit hitam, dan Manikmaya untuk yang berkulit putih. Ismaya merasa rendah diri sehingga membuat Sang Hyang Tunggal kurang berkenan. Takhta khayangan pun diwariskan kepada Manikmaya, yang kemudian bergelar Batara Guru. Sementara itu Ismaya diberi kedudukan sebagai penguasa alam Sunyaruri, atau tempat tinggal golongan makhluk halus. Putra sulung Ismaya yang bernama Batara Wungkuham memiliki anak berbadan bulat bernama Janggan Smarasanta, atau disingkat Semar. Ia menjadi pengasuh keturunan Batara Guru yang bernama Resi Manumanasa dan berlanjut sampai ke anak-cucunya. Dalam keadaan istimewa, Ismaya dapat merasuki Semar sehingga Semar pun menjadi sosok yang sangat ditakuti, bahkan oleh para dewa sekalipun. Jadi MENURUT SERAT PARAMAYOGA, SEMAR ADALAH CUCUNYA ISMAYA.

Dalam SERAT PURWAKANDA :dikisahkan, Sang Hyang Tunggal memiliki empat orang putra bernama Batara Puguh, Batara Punggung, Batara Manan, dan Batara Samba. Suatu hari terdengar kabar bahwa takhta khayangan akan diwariskan kepada Samba. Hal ini membuat ketiga kakaknya merasa iri. Samba pun diculik dan disiksa hendak dibunuh. Namun perbuatan tersebut diketahui oleh ayah mereka. Sang Hyang Tunggal pun mengutuk ketiga putranya tersebut menjadi buruk rupa. Puguh berganti nama menjadi Togog sedangkan Punggung menjadi Semar. Keduanya diturunkan ke dunia sebagai pengasuh keturunan Samba, yang kemudian bergelar Batara Guru. Sementara itu Manan mendapat pengampunan karena dirinya hanya ikut-ikutan saja. Manan kemudian bergelar Batara Narada dan diangkat sebagai penasihat Batara Guru.

Dalam SERAT PURWACARITA : dikisahkan, Sang Hyang Tunggal menikah dengan Dewi Rekatawati putra Sang Hyang Rekatatama. Dari perkawinan itu lahir sebutir telur yang bercahaya. Sanghyang Tunggal dengan perasaan kesal membanting telur itu sehingga pecah menjadi tiga bagian, yaitu cangkang, putih, dan kuning telur. Ketiganya masing-masing menjelma menjadi laki-laki. Yang berasal dari cangkang diberi nama Antaga, yang berasal dari putih telur diberi nama Ismaya, sedangkan yang berasal dari kuningnya diberi nama Manikmaya. Pada suatu hari Antaga dan Ismaya berselisih karena masing-masing ingin menjadi pewaris takhta khayangan. Keduanya pun mengadakan perlombaan menelan gunung. Antaga berusaha melahap gunung tersebut dengan sekali telan namun justru mengalami kecelakaan. Mulutnya robek dan matanya melebar. Ismaya menggunakan cara lain, yaitu dengan memakan gunung tersebut sedikit demi sedikit. Setelah melewati beberapa hari seluruh bagian gunung pun berpindah ke dalam tubuh Ismaya, namun tidak berhasil ia keluarkan. Akibatnya sejak saat itu Ismaya pun bertubuh bulat.

Sang Hyang Tunggal murka mengetahui ambisi dan keserakahan kedua putranya itu. Merekapun dihukum menjadi pengasuh keturunan Manikmaya, yang kemudian diangkat sebagai raja khayangan, bergelar Batara Guru. Antaga dan Ismaya pun turun ke dunia. Masing-masing memakai nama Togog dan Semar.

Semar ditugaskan mengasuh para ksatria (golongan putih) sedangkan Togog ditugaskan mengasuh golongan raksasa dan golongan hitam (golongan sesat)

Wayang Punokawan

Semar Badranaya
Dalam pewayangan Jawa Tengah, Semar selalu disertai oleh anak-anaknya, yaitu Gareng, Petruk, dan Bagong. Namun sesungguhnya ketiga tersebut bukan anak kandung Semar. Gareng adalah putra seorang pendeta yang mengalami kutukan dan terbebas oleh Semar. Petruk adalah putra seorang raja bangsa Gandharwa (raja Jin). Sementara Bagong tercipta dari bayangan Semar berkat sabda sakti Resi Manumanasa.

Wayang Punokawan Dalam Versi Cerita Pedalangan

Punokawan
Dalam pewayangan Sunda, urutan anak-anak Semar adalah Cepot, Dawala, dan Gareng. Sementara itu, dalam pewayangan Jawa Timuran, Semar hanya didampingi satu orang anak saja, bernama Bagong, yang juga memiliki seorang anak bernama Besut.

Selain 4 contoh versi serat yang di atas masih ada versi serat yang lain, bahkan wayang versi India, Bali, Jawa (versi Jawa Timur, versi Sunda, versi Solo, versi Yogya, versi Banyumas dll) semua berbeda-beda ceritanya. Apalagi kalau dimainkan oleh dalang yang berbeda dengan gaya cerita dan acuan serat yang berbeda pula. Kita musti menghormati dan menerima semua perbedaan dari semua versi serat dan berusaha memahami perbedaannya. Justru ini yang menjadikan makin kaya, tinggi dan luhurnya khasanah budaya wayang kita.

Demikianlah gambaran mengenai sejarah asal muasal dunia wayang. semoga bisa membantu memberikan pencerahan bagi para pembaca, dan wayang juga merupakan sebagai media informasi serta seni hiburan, dan tentunya tidak kalah penting pula adalah upaya melestarikan yang merupakan aset budaya bangsa warisan leluhur.


Sumber :media seni budaya wayang Indonesia

*** Warisan budaya nasional atau warisan budaya daerah adalah cermin tingginya peradaban bangsa.
*** Melestarikan budaya nasional warisan leluhur sebagai wujud jati diri dan watak bangsa Indonesia.

gendhing asmarada pl.6

2 komentar:

  1. beda daerah, beda pakemnya,,,,
    tpi tetap ke budaya indonesia

    BalasHapus
  2. memang menarik memperhatikan bagaimana cerita pewayangan Nusantara berkembang di Indonesia

    BalasHapus